Ada 5 budaya dasar masyarakat asli rumpun Austronesia di Kalimantan atau Etnis Orang Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai dan Paser.[14]
Sedangkan sensus BPS tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di
Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku
Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non
Dayak dan non Banjar).[15] Suku Melayu menempati wilayah pulau Karimata
dan pesisir Kalimantan Barat, Sarawak, Brunei sehingga pesisir Sabah.
Suku Banjar menempati pesisir Kalteng, Kalsel hingga Kaltim. Suku Kutai
dan Paser menempati wilayah Kaltim. Sedangkan suku Dayak menempati
seluruh daerah pedalaman Kalimantan. Keberadaan orang Tionghoa yang
banyak di kota Singkawang dapat disamakan komunitas Cina Benteng yang bermukim di Kota Tangerang dekat Jakarta. Memang beberapa kota di pulau Kalimantan diduduki
secara politis oleh mayoritas suku-suku imigran seperti suku Hakka
(Singkawang), suku Jawa (Balikpapan, Samarinda), Bugis (Balikpapan,
Samarinda, Pagatan, Nunukan, Tawau) dan sebagainya. Suku-suku imigran
tersebut berusaha memasukkan unsur budayanya dengan alasan tertentu,
padahal mereka tidak memiliki wilayaa adat dan tidak diakui sebagai suku
asli Kalimantan, walaupun keberadaannya telah lama datang menyeberang
ke pulau ini.
Suku Bugis merupakan suku transmigran pertama menetap,
ber-inkorporasi dan memiliki hubungan historis dengan kerajaan-kerajaan
Melayu (baca: kerajaan Islam) di Kalimantan.
Beberapa waktu yang lalu
suku Bugis, mengangkat seorang panglima adat untuk pulau Nunukan
yang menimbulkan reaksi oleh lembaga adat suku-suku asli. Tari Rindang
Kemantis adalah gabungan tarian yang mengambil unsur seni beberapa etnis
di Balikpapan seperti Banjar, Dayak, Bugis, Jawa, Padang dan Sunda[16] dianggap kurang mencerminkan budaya lokal sehingga menimbulkan protes lembaga adat suku-suku lokal.[17][18] Di Balikpapan pembentukan Brigade Lagaligo[19] sebuah organisasi kemasyarakatan warga perantuan asal Sulawesi Selatan dianggap provokasi dan ditentang ormas suku lokal.[20][21][22][23][24][25] Kota Sampit pernah dianggap sebagai Sampang ke-2. Walikota Singkawang yang berasal dari suku Tionghoa membangun di pusat kota Singkawang sebuah patung liong yaitu naga
khas budaya Tionghoa yang lazim ditaruh atau disembahyangi di
kelenteng. Pembangunan patung naga ini merupakan simbolisasi hegemoni
politik ECI Etnis Cina Indonesia dengan mengabaikan keberadaan etnis
pribumi di Singkawang sehingga menimbulkan protes oleh kelompok Front
Pembela Islam, Front Pembela Melayu dan aliansi LSM. Penguatan dominasi
politik ECI merupakan upaya revitalisasi negara Lan Fang[26] yang tentu saja akan ditolak oleh suku-suku bukan ECI[27], namun di lain pihak, suku Dayak mendukung keberadaan patung naga tersebut.[28]. Dalam budaya Kalimantan karakter naga biasanya disandingkan dengan karakter enggang gading,
yang melambangkan keharmonisan dwitunggal semesta yaitu dunia atas dan
dunia bawah. Seorang tokoh suku imigran telah membuat tulisan yang
menyinggung etnis Melayu.[29]
Walaupun demikian sebagian budaya suku-suku Kalimantan merupakan hasil
adaptasi, akulturasi, asimilasi, amalgamasi, dan inkorporasi unsur-unsur
budaya dari luar misalnya sarung Samarinda, sarung Pagatan, wayang kulit Banjar, benang bintik (batik Dayak Ngaju), ampik (batik Dayak Kenyah), tari zafin dan sebagainya.
Pada dasarnya budaya Kalimantan terbagi menjadi budaya pedalaman dan
budaya pesisir. Atraksi kedua budaya ini setiap tahun ditampilkan dalam
Festival Borneo yang ikuti oleh keempat provinsi di Kalimantan diadakan
bergiliran masing-masing provinsi.[30][31][32] Kalimantan kaya dengan budaya kuliner, diantaranya masakan sari laut.[33]
No comments:
Post a Comment